Tuesday, March 22, 2016

Yang penting sayang. *judul baper abis* *tapi nggak nyambung*

Setelah begitu banyak undangan berkeliaran di jadwal mingguan, saya sendiri ikut senang menyaksikan fenomena ini. Sedikit-sedikit dan secara bertahap saudara seperjuangan dan juga kakak senior bahkan junior saya melangkah dengan berani untuk menyempurnakan separuh agama.
Saya?
Ah saya masih begini-begini saja. Seperti dulu, kadang masih suka membaurkan tangan dengan yang lebih muda, lihat-lihat kampus. Kadang juga menjalani rutinitas biasa setiap hari di rumah, dengan kata lain belajar menjadi ibu rumah tangga. Saya yang dulunya menghabiskan waktu begitu banyak di kampus, tiap pagi mulai belajar memasak dan merutinkan apapun yang ibu rumah tangga lakukan, dengan, berusaha mewujudkan mimpi-mimpi dan obsesi saya. Jangan ditanya sudah berhasil atau belum. Didoakan saja.
Tapi, kawan, pada akhirnya semua ini memunculkan ketakutan tersendiri untuk menikah. Entahlah. It is not as easy as we think. Kadang, kalau melihat saya yang terbiasa menang, pada akhirnya akan sulit menyatukan prinsip saya dan pasangan nantinya. Tapi bicara tentang prinsip, saya mencatat kriteria utama calon adalah berprinsip dan bertujuan yang sama.
Bagaimana dengan emosi? Aduh, emosi saya kalau sudah baper suka amburadul. Mungkin memang harus belajar mendinginkan kepala dan didinginkan oleh calon suami ya. Hehe.
Pesan ibu saya, secara pribadi mensyaratkan selain agama dan prinsip yang sejalan, beliau selalu berkata untuk menemukan seseorang yang mencintai saya lebih dari saya mencintai dia. Alasannya mungkin terdengar egois ya, tapi memang pada akhirnya takar perasaan perempuan selalu bertambah selama bergulirnya waktu, berbeda dengan laki-laki. Perempuan akan mengabdi dan terus memberi lebih dari apa yang diterimanya. Tak heran ibu saya berpesan seperti itu mengingat ibu dan ayah saya adalah pasangan paling romantis sedunia yang sudah makan asam manis cinta. Tsaaaahh
Terlepas itu semua, menikah adalah perjalanan panjang yang bukan hanya enaknya saja. Tetapi kita akan belajar berjuang bersama. Akan ada masa ketika hari akan dihabiskan dengan pertengkaran yang tiada habisnya hingga mencari tujuan awal bersama akan sangat sulit, bahkan beberapa orang akan gugur untuk mengingatnya. Menikah tak sebercanda itu. Bayangkan betapa beratnya menikah dengan perumpamaan menyempurnakan separuh agama. Agama itu begitu berat dipikul, namun manis hingga jiwa jika berhasil meraihnya.
Alasan-alasan mengapa saya masih takut dan berpikir panjang, mungkin belum saatnya takdir itu datang mengetuk pintu rumahku dengan walinya dan membuat saya berani melangkahkan kaki ke sana. Meski takut begitu, saya selalu berharap semoga ketika ia datang, bukan hanya ia yang siap, namun saya juga. Pun begitu, semoga kami diberi sabar hingga memikul tugas berat untuk agama.
Kapan pun itu, kuharap apa yang kami berdua akan bawa nantinya akan abadi sebagai pasangan dunia akhirat. Yang menghadapi beratnya dunia dengan susah payah namun selalu bersama.

Jedekduuussssss! Untuk kedua kalinya, standing applause untuk yang sudah berani menikah.

No comments:

Post a Comment