Saturday, October 27, 2012

Artikel Peringatan Sumpah Pemuda 2012


Wajah Abu-abu Pemuda Indonesia
Refleksi Kehidupan Setiap Lini Bangsa Indonesia
Oleh: Izzah A. Wardah.

Orasi menggelitik yang saya dengar sebelum peringatan sumpah pemuda, “Anak SMA tawuran, bahkan mahasiswa sebagai bibit kaum intelek melakukan tindakan anarki yang mengejutkan.” Ah, kaum intelek. Pantaskah?
Ketika kembali kepada janji-janji dan romantisme sumpah pemuda berpuluh-puluh tahun yang lalu dengan semangat menyatukan nusantara, atau teringat pada jatuhnya Orde Lama oleh seruan dan aksi mahasiswa dan penggulingan Orde Baru yang juga dilakukan oleh agen perubahan ini, saya kembali bertanya-tanya apakah memang semangat itu tetap terpatri dalam jiwa generasi penerus bangsa ini? Tidak bisa dipungkiri semangat pemuda Indonesia untuk memajukan Bumi Pertiwi terus digalakkan dengan banyak cara, sebagai salah satu contoh adanya Gerakan Indonesia Mengajar. Hal yang saya rasa sangat baik untuk dilakukan. Namun ketika saya kembali menengok ke sekeliling, saya melihat dan menemukan paradigma yang berbeda terjadi di sekitar saya.

Apa yang membuat pemuda Indonesia kehilangan sinar dan hingar-bingar dalam menjunjung tinggi cita-cita bangsa maupun menyejahterakan rakyat bukan hanya kecacatan dalam output yang ada sekarang, melainkan karena adanya paradigma masyarakat di setiap lini kehidupan bangsa yang konservatif. Saya bukan pengamat politik yang handal yang tahu siapa itu Karl Max atau politikus dunia. Menurut saya politik adalah sesuatu yang akan menjegalmu ketika lengah dan penuh lubang di mana-mana. Namun ketika politik ini menyangkut bangsa kita, suatu kewajiban penerus bangsa untuk tahu dan paham apa yang terjadi dengan bangsa Indonesia.
Saya merasa bahwa kesalahan pertama yang terjadi adalah matinya rasa peka pada bangsa. Saya heran dan penasaran mengapa nilai-nilai kehidupan pancasila diajarkan sambil lalu saja saat Sekolah Dasar dan malah menuntut kerja otak yang tidak pada waktunya pada anak didik. Hal pertama yang saya yakini untuk merubah bangsa adalah memperbaiki kaum mudanya dan saya menyakini bahwa untuk merubahnya membutuhkan pondasi dan kesadaran intelektual yang tinggi dalam prosesnya. Pemuda tidak hanya harus dituntut untuk mengerti apa itu energi dan rumus apa yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan eksak ataupun yang sangat bersifat teoritis. Namun, seharusnya dituntut untuk memiliki nasionalisme tinggi tanpa membabi buta dengan akar-akar idealisme yang ditanamkan sejak dini serta kesadaran penuh atas makna pancasila dan cita-cita bangsa.
Bobroknya sistem pendidikan dasar Indonesia yang hanya menuntut kerja otak tanpa hati melahirkan pemuda-pemuda yang memiliki ego dan hedonisme yang tinggi. Nasionalisme hampir mati. Pemuda lebih banyak mengerti apa itu untung rugi dan timbal balik tanpa paham sebab akibat. Pemuda lupa bahwa masih banyak potret-potret masyarakat yang menantikan pergerakan pemuda untuk ikut andil dalam perubahan bangsa.
Suatu ketika saya melihat buku yang berjudul “Menghadang Negara Gagal” (saya lupa karangan siapa) yang menceritakan bahwa Negara Indonesia merupakan bibit Negara gagal peringkat ke 73 dari 128 negara di dunia menurut Fund for Peace. Lihat saja pada kenyataannya. 20% generasi muda telah melakukan seks bebas, hampir 30% generasi muda memakai narkoba. Ironisnya, mereka yang melakukan kebanyakan adalah pemuda-pemuda beruntung yang terdidik dengan sistem pendidikan formal yang dibuat Negara. Ocehan bermacam-macam dilontarkan dari banyak pihak bangsa. Ada yang mengiyakan, ada yang menyetujui tetapi tidak seratus persen dengan memaparkan seribu analisis, dan ada yang masih kekeuh melontarkan komentar defensif. Sesungguhnya bukan saatnya lagi elemen bangsa ini melontarkan kalimat-kalimat cerdas melankolik ataupun kutukan dan hujatan, karena bangsa lebih membutuhkan aksi nyata yang membawa perubahan.
Ketika mengamati apa yang terjadi pada media massa, saya merasa demokrasi pancasila mengalami degradasi nilai bangsa menjadi suatu bangsa yang liberal, menuntut kebebasan perseorangan dan lupa kesatuan bangsa Indonesia. Hampir semua lapisan masyarakat melakukan tindakan konservatif untuk melindungi diri sendiri. Sedikit tersinggung, lapor polisi. Sedikit disenggol, sukanya main meniup peluit peringatan. Bangsa lupa arti kata introspeksi.
Media massa melupakan kode etik jurnalistik. Media massa bukan lagi pembawa kebenaran melainkan pemanas isu publik, bukan lagi penengah melainkan pengadu domba. Media massa lupa apa itu sastra, lupa bagaimana kekuatan opini yang mereka gemborkan untuk bangsa.
Tokoh-tokoh bangsa yang hanya itu-itu saja tetap eksis bermunculan di kancah media membuat masyarakat bosan dan semakin apatis dengan keadaan kritis bangsa. Pemerintah miskin kepercayaan, padahal bangsa harus bersatu padu jika ingin memperbaiki chaos yang terjadi di NKRI. Pemuda seolah dibungkam, atau memang membungkamkan diri dan menutup mata tentang apa yang terjadi pada bangsa. Pemuda mengamati, tapi masyarakat mengharapkan kita lebih berani. Janji-janji mengenai Peran Fungsi Mahasiswa yang kita emban seharusnya bukan hanya menjadi perhiasan untuk mempercantik gelar pemuda sekarang. Kebutuhan masyarakat seharusnya menjadi prioritas utama kaum intelektual dan pemerintah. Namun, ketika persoalan dan kebutuhan masyarakat tersebut tidak menyenggol dua peran besar dalam bangsa tersebut, dua peran tersebut akan tetap pada zona aman masing-masing.
Saya bukan kritikus yang menulis artikel ini karena merasa benar sendiri, melainkan saya hanya merefleksikan apa yang terjadi dengan adanya saya juga dalam peran sebagai pemuda. Saya tetap memegang cita-cita bangsa menjadi masyarakat madani.
“Percuma, bangsa sudah terlanjur bobrok, jangan tinggi-tinggi jika bermimpi.” Komentar seseorang pada saya. Saya menaikkan alis, heran. Jika orang-orang yang masih memegang teguh cita-cita puitis lenyap, pada apa lagi bangsa ini harus mencari hakekat bangsa untuk memperjuangkannya?


Bangsa yang tidak mengetahui sejarahnya sendiri akan melakukan kesalahan yang sama yang pernah dilakukan pendahulunya.

HIDUP MAHASISWA! HIDUP RAKYAT INDONESIA! 

No comments:

Post a Comment